Saturday, July 14, 2018

SAJAK MALAM || the secret of heart

Masjid Islamic Centre kota Palopo

Adalah Hati. Hal yang sangat patut untuk disyukuri dari apa yang Allah ciptakan pada diri kita. Anugerah yang tiada taranya dan tandingannya. Terimalah anugerah Allah ini dengan sebaik-baik penerimaan, dan jangan pernah menyesalkan apa yang telah diberikanNya. 

Masalah hati, seringkali menjadi beban berat yang ditanggung oleh pemiliknya, apalagi kalau bukan tentang rasa, tentang cinta dan kasih sayang. Memang banyak yang menggembirakan, tapi tidak sedikit yang menyengsarakan. Fakta mengarah pada akhir episode kehidupan manusia dimana ujungnya adalah kematian. yang bahagia melanjutkan hidupnya dengan kebahagiaan, yang sengsara menderita, dan kerapuhan mematahkan semangat hidup. Semua karena hati.

Pada dasarnya kehidupan yang dijalani berbarengan dengan suasana hati. Menjadi baik ketika hati sedang dalam momen yang baik, menjadi buruk ketika hati sedang dalam kondisi terpuruk. Hal ini sudah diwanti-wanti oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya “didalam diri manusia ada segumpal daging yang apabila baik maka baik pula seluruh tubuhnya, dan jika buruk maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah qalbu (hati).” Dengan kata lain, hati memiliki peranan penting dalam mengontrol tubuh manusia yang rentan akan kerusakan.

Ada hal lain yang lebih unik dari hati ini, mungkin kita sudah mengetahuinya, minimal merasakannya. Masalah hati seringkali disangkut pautkan dengan Cinta, memang benar. Tapi bukan cinta jika hanya bersemayam didalam hati. Bukan pula cinta jika hanya manis dibibir saja. Tak penting cinta yang ada didalam hati pun yang ada diatas bibir, bukti dari cinta adalah yang terpenting. 

Meskipun demikian hati tetaplah memiliki peranan penting dalam masalah cinta ini, sayangnya perkara hati pun bisa menjadi momok bagi sang pecinta, sebab hati terkadang mengarahkan cinta pada lain pihak, tidak menentu dan tidak tetap dengan cintanya. Hari ini mencintai satu wanita, esok mencintai wanita lain yang jauh lebih cantik dan menarik dari hari ini. Itu lumrah bagi hati yang plin-plan. 

Terlebih lagi hati dengan rasa cinta yang menggebu-gebu, hati bernokhta hitam akan menghantarkan pada cinta yang tidak suci, cinta yang terusak oleh perbuatan sang pecinta, dengan dalih cinta mengimplementasikan kecintaannya melalui perbuatan maksiat yang jelas sangat salah lagi mengundang kemurkaan Allah SWT. Itu lumrah bagi mereka yang tak mencintai Allah dengan sebaik-baik kecintaan padaNya.

Ketetapan hati itu penting, itu menandakan kekonsistenan dan sikap ksatria. Menetapkan dan memantapkan hati adalah lambang dari kesetiaan yang tercurah dari kasih sayang serta rasa tanggung jawab. Ini sangat hebat. Terlebih lagi jika ketetapan hati akan cinta tidak hanya kepada Manusia saja, kepada Agama pun sama, mencintai agama Allah SWT dengan sebaik-baik cinta, mencintai RasulNya dengan cinta yang tiada taranya. Sungguh tiada lagi yang bisa mengalahkan itu semua.

Dibalik itu semua, hati adalah hal yang tak bisa diterka ia memiliki rahasianya sendiri, sangat sulit untuk memantapkan hati jika hanya menggunakan hati, ada pelengkap yang terkadang dilupakan, ialah Akal. Keduanya menjadi baik apabila mampu disinergikan dengan perantara agama, sebab Agamalah yang mampu mengontrol hati, dan hatilah yang membenarkan Agama, tentunya dengan Akal agama menjadi mudah untuk diterima. 

Salam damai untuk kita semua. Wallahu alam bissawab.

Wassalam
Palopo 13 Juli 2018

Muh. Andi Sugandi

Friday, July 13, 2018

SAJAK MALAM || Separation Anxiety

My Quote

Bersama hembusan angin yang semakin dingin dibawah langit malam yang cerah. Aku tahu ragaku terpenjara, tapi kupastikan angan terbang melintasi cakrawala, disini banyak kenangan yang tercipta. Kesedihan, kebahagiaan cinta dan kasih sayang tercipta berpadu menjadi sebuah kisah yang tak akan pernah terlupakan, terkenang dalam memori ingatan. Satu persatu menghilang, pergi meninggalkan. Yang terlupa adalah yang tak berkesan. Banyak, banyak sekali, tapi yang berkesan jauh lebih banyak.

Aku tahu perpisahan itu. Ada yang terelakan namun ada pula yang tak mampu untuk direlakan. Memang pepatah mengatakan “Dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan” bagiku tidak sepenuhnya benar. Mengapa tidak pertemuan itu menjadi jalan kebersamaan. Bertemu denganmu, lalu Bersama denganmu, kalaupun akhirnya ada perpisahan, takdir kematian mungkin logis untuk diterima, itu bisa diterima dengan baik. Namun jika kepergian hanya karena sebab lain yang bukan karena kematian, pastilah tak akan mudah untuk dilepaskan.

Rasanya semua orang bahagia menanti kedatangan, dan semua orang khawatir dengan kepergian. Kadang waktu memberi tahu bahwa perpisahan akan segera tiba, ada pula yang tak disangkakan kepergiannya. Rasanya lebih baik kepergian itu datang diwaktu yang tak disangkakan, ketimbang tahu kapan kepergian akan terjadi. Sebab waktu sebelum kepergian adalah waktu yang rumit dan sulit untuk dijalani. Menanti waktu yang semakin dekat dengan kepergian yang tak terjamin apakah akan ada pertemuan kembali, itu sungguh menyedihkan.

Tenaga terkuras memikirkan hal apa yang layak untuk dilakukan, hal apa yang akan menjadikan pertemuan setelah perpisahan ini menjadi kenangan manis yang menggembirakan. Bosan, marah dan prustasi. Cukuplah. Itu sudah cukup untuk menggambarkan keadaan, meski wajah masih mampu menghadirkan senyuman, tapi hati sungguh tak terbayangkan.

Apa lagi yang terfikirkan? semuanya pasti tentang waktu perpisahan. Siapakah yang pantas disalahkan? Perpisahan ataukah pertemuan? Tidak. Bukan keduanya, yang salah adalah kepastian. Kepastian apa yang didapatkan disaat pertemuan, dan kepastian apa yang didapatkan disaat perpisahan.

Dan kepastian itu adalah dirimu, apa yang kau lakukan untuk memastikan bahwa pertemuan ini menjadi modal untuk kebersamaan, atau apa yang telah engkau pastikan sehingga pertemuan tidak hanya sekedar pertemuan biasa yang tiada makna dan keindahannya. Dan mengapa tak kau pastikan bahwa perpisahan itu mudah karena memang tak ada yang berkesan. Tapi aku yakin, seemuanya berkesan, karena itulah engkau berat untuk melepaskan.

Palopo, 12 Juli 2018

Monday, July 2, 2018

TULISAN ANAK RANTAU Part 2

Bismillahirrahmanirrahim.
Dari sekian banyak para perantau diluar sana, tentunya saya tak bisa membedakan mana perantau yang lebih baik dari perantau yang lainnya. Tapi bagiku semua orang berhak untuk menceritakan setiap detail kehidupannya. Masalah orang peduli atau tidak terhadap kisah kita itu tak penting. yang penting adalah mari terus mengukir sejarah dalam kehidupanmu, dan kemudian tandai dengan tinta emas setiap momen bahagiamu. Siapa yang tahu itu bisa menjadi bahan renungan dan tentunya inspirasi bagi orang lain.
 
Saya Anak Rantau || Masjid Islamic Centre Samarinda 
Menjadi perantau itu tidak mudah, sudah menjadi hal lumrah para perantau yang tak betah ditanah rantau memilih untuk kembali ke kampung halamannya karena tak mampu bersaing dikampung orang. Ini menandakan begiti sulitnya menjadi perantau. Tidak hanya mereka yang berjuang dengan pendidikannya, tapi juga bagi mereka yang berjuang untuk merubah nasibnya. 

Bagi saya kekuatan mental adalah yang terpenting. Mental akan mendukung semua aspek yang kita miliki sebagai seorang perantau. Banyak orang yang memiliki skill mumpuni, dana melimpah, dan semua instrumen pendukung lainnya, tapi buktinya mereka masih juga tak mampu melawan kerasnya kehidupan tanah rantau disebabkan mental yang rapuh. Penggambaran mental menurut orang sini (baca: palopo) "Jadilah seperti dange (dange adalah makanan khas Luwu yang terbuat sagu yang dibakar) jangan jadi seperti kerupuk".

Istilah ini sangat poluler di daerah Luwu. Kenapa harus dange dan kerupuk? Sebab keduanya memiliki akhir yang berbeda. Dange diawal pembuatannya sangatlah lembut tapi seiring waktu semakin lama disimpan dange akan menjadi keras dan kuat. Sementara kerupuk, diawal pembuatannya sangat keras, tapi semakim lama dia disimpan, maka kerupuk akan melempem dan tentunya menjadi lembek. Meskipun keduanya ketika semakin lama disimpan menjadi tidak enak untuk dikonsumsi, tapi mereka berbeda, yang satu semakin keras, yang satu semakin lembek. Kitapun cukup akrab dengan istilah bermental kerupuk.

Istilah “Jadilah seperti dange dan jangan menjadi kerupuk” meskipun terdengar aneh dan hanya seperti candaan semata, tapi makna filosifos yang terkandung bisa dijadikan pelajaran. Artinya penggambaran tersebut cukup tepat menggambarkan keadaan para perantau dengan mentalnya masing-masing. Yang seperti dange, semakin lama semakin mengeras itu menggambarkan tekat yang sangat kuat, semakin ditempa ditanah rantau, maka akan semakin kuat meskipun diawal sangat lembek, dan merasa tak betah ditanah rantau. Sementara yang seperti kerupuk menggambarkan semangat yang menggebu-gebu, rasa optimisme sebesar gunung tapi lama kelamaan melemah karena mentalnya dikalahkan oleh kehidupan tanah rantau yang begitu keras. Mereka baru menyadari bahwa ekspketasi tak sesuai dengan realita.

Tak bisa dipungkuri bahwa memang setiap perantau yang datang ke tempat perantauannya mengundi nasib tidaklah memiliki nasib yang sama, ada yang benar-benar sukses ditanah rantau, adapula yang hanya berjuang untuk sesuap nasi, bahkan ada yang hanya seperti gali lobang tutup lobang. Hari ini berhutang, bulan depan gajian, dibayar lunas dan alhasil gaji hanya tinggal kenangan.

Kembali lagi kekuatan mental menentukan. Apakah akan bertahan dengan kondisi tersebut atau justru menyerah kembali kekampung halaman mengelola tanah warisan untuk ditanami tumbuh-tumbuhan yang nantinya dijual dipasar pagi sembari menunggu informasi lowongan pekerjaan. Pun kalau ada, kalau tidak, maka akan terus bergelut dengan lahan tani, sebab orang yang telah kembali dari rantauan karena kegagalan, maka ia akan malu untuk mencoba lagi jika tidak ada kejelasan ditanah rantau.

Saya mungkin akan terus bersyukur karena sampai hari ini masih bertahan ditanah rantau, (kurang lebih sebelas tahun) meski tak bisa ditakar keberhasilan apa yang telah saya dapatkan, setidaknya saya masih terus mencoba, sebab pulang dan menyerah dari tanah rantau bagi saya adalah hal yang sangat memalukan. Terlebih lagi pengaruh dari fakta mengapa kita harus merantau menjadi penyebab untuk saya tetap bertahan. Beberapa sebab seseorang memilih merantau, kebanyakan karena tak ada pekerjaan jelas dikampung halaman, atau karena pendidikan, atau karena mencoba untuk tidak mengikuti jejak orang tua sebagai seorang petani. Meskipun pekerjaan tani adalah pekerjaan yang mulia, toh banyak orang yang mencoba sebisa mungkin untuk menghindarinya. Ini adalah faktor yang membuat saya enggan kembali ke kampung halaman dan mungkin juga menjadi faktor kebanyakan orang.

Terlepas daripada itu tentunya kita paham bahwa hidup adalah pilihan, yang menjadi inti adalah seberapa besar kita telah berbuat dan jangan pernah terbuai dan terlena oleh hasil yang didapatkan, sebab itu akan memicu kepuasan negatif yang membuat kita mudah untuk menggampangkan sesuatu. Bekerja keras adalah usaha dan hasil adalah hadiah yang diberikan dari usaha kita, sudah menjadi fitrah seseorang akan mendapatkan hasil sesuai dengan usahanya. Sebab itu kawan jangan berleha-leha. Selagi masih muda, mari kita produktif mengasah dan menempa diri, menjadikan diri sebagai manusia yang tak cepat berpuas diri, jangan berbangga diri yang berlebihan, sebab itu akan menghantarkan kita pada kesombongan dan arogansi.

Palopo, 29 Juni 2018

Ditulis setelah kembali dari kampung halaman

Muh. Andi Sugandi, SE
Tulisan Saya Sebelumnya  Tulisan Anak Rantau Part 1