Bismillahirrahmanirrahim.
Dari sekian banyak para perantau diluar sana, tentunya saya tak
bisa membedakan mana perantau yang lebih baik dari perantau yang lainnya. Tapi
bagiku semua orang berhak untuk menceritakan setiap detail kehidupannya.
Masalah orang peduli atau tidak terhadap kisah kita itu tak penting. yang
penting adalah mari terus mengukir sejarah dalam kehidupanmu, dan kemudian
tandai dengan tinta emas setiap momen bahagiamu. Siapa yang tahu itu bisa menjadi
bahan renungan dan tentunya inspirasi bagi orang lain.
Menjadi perantau itu tidak mudah, sudah menjadi hal lumrah para
perantau yang tak betah ditanah rantau memilih untuk kembali ke kampung
halamannya karena tak mampu bersaing dikampung orang. Ini menandakan begiti
sulitnya menjadi perantau. Tidak hanya mereka yang berjuang dengan
pendidikannya, tapi juga bagi mereka yang berjuang untuk merubah nasibnya.
Bagi saya kekuatan mental adalah yang terpenting. Mental akan
mendukung semua aspek yang kita miliki sebagai seorang perantau. Banyak orang
yang memiliki skill mumpuni, dana melimpah, dan semua instrumen pendukung
lainnya, tapi buktinya mereka masih juga tak mampu melawan kerasnya kehidupan
tanah rantau disebabkan mental yang rapuh. Penggambaran mental menurut orang sini
(baca: palopo) "Jadilah seperti dange (dange adalah makanan
khas Luwu yang terbuat sagu yang dibakar) jangan jadi seperti kerupuk".
Istilah ini sangat poluler di daerah Luwu. Kenapa harus dange dan
kerupuk? Sebab keduanya memiliki akhir yang berbeda. Dange diawal pembuatannya
sangatlah lembut tapi seiring waktu semakin lama disimpan dange akan menjadi
keras dan kuat. Sementara kerupuk, diawal pembuatannya sangat keras, tapi
semakim lama dia disimpan, maka kerupuk akan melempem dan tentunya menjadi
lembek. Meskipun keduanya ketika semakin lama disimpan menjadi tidak enak untuk
dikonsumsi, tapi mereka berbeda, yang satu semakin keras, yang satu semakin
lembek. Kitapun cukup akrab dengan istilah bermental kerupuk.
Istilah “Jadilah seperti dange dan jangan menjadi kerupuk”
meskipun terdengar aneh dan hanya seperti candaan semata, tapi makna filosifos
yang terkandung bisa dijadikan pelajaran. Artinya penggambaran tersebut cukup tepat
menggambarkan keadaan para perantau dengan mentalnya masing-masing. Yang seperti
dange, semakin lama semakin mengeras itu menggambarkan tekat yang sangat kuat,
semakin ditempa ditanah rantau, maka akan semakin kuat meskipun diawal sangat
lembek, dan merasa tak betah ditanah rantau. Sementara yang seperti kerupuk
menggambarkan semangat yang menggebu-gebu, rasa optimisme sebesar gunung tapi
lama kelamaan melemah karena mentalnya dikalahkan oleh kehidupan tanah rantau yang
begitu keras. Mereka baru menyadari bahwa ekspketasi tak sesuai dengan realita.
Tak bisa dipungkuri bahwa memang setiap perantau yang datang ke
tempat perantauannya mengundi nasib tidaklah memiliki nasib yang sama, ada yang
benar-benar sukses ditanah rantau, adapula yang hanya berjuang untuk sesuap
nasi, bahkan ada yang hanya seperti gali lobang tutup lobang. Hari ini
berhutang, bulan depan gajian, dibayar lunas dan alhasil gaji hanya tinggal
kenangan.
Kembali lagi kekuatan mental menentukan. Apakah akan bertahan
dengan kondisi tersebut atau justru menyerah kembali kekampung halaman
mengelola tanah warisan untuk ditanami tumbuh-tumbuhan yang nantinya dijual
dipasar pagi sembari menunggu informasi lowongan pekerjaan. Pun kalau ada,
kalau tidak, maka akan terus bergelut dengan lahan tani, sebab orang yang telah
kembali dari rantauan karena kegagalan, maka ia akan malu untuk mencoba lagi
jika tidak ada kejelasan ditanah rantau.
Saya mungkin akan terus bersyukur karena sampai hari ini masih
bertahan ditanah rantau, (kurang lebih sebelas tahun) meski tak bisa ditakar
keberhasilan apa yang telah saya dapatkan, setidaknya saya masih terus mencoba,
sebab pulang dan menyerah dari tanah rantau bagi saya adalah hal yang sangat
memalukan. Terlebih lagi pengaruh dari fakta mengapa kita harus merantau
menjadi penyebab untuk saya tetap bertahan. Beberapa sebab seseorang memilih
merantau, kebanyakan karena tak ada pekerjaan jelas dikampung halaman, atau
karena pendidikan, atau karena mencoba untuk tidak mengikuti jejak orang tua
sebagai seorang petani. Meskipun pekerjaan tani adalah pekerjaan yang mulia,
toh banyak orang yang mencoba sebisa mungkin untuk menghindarinya. Ini adalah
faktor yang membuat saya enggan kembali ke kampung halaman dan mungkin juga
menjadi faktor kebanyakan orang.
Terlepas daripada itu tentunya kita paham bahwa hidup adalah
pilihan, yang menjadi inti adalah seberapa besar kita telah berbuat dan jangan
pernah terbuai dan terlena oleh hasil yang didapatkan, sebab itu akan memicu
kepuasan negatif yang membuat kita mudah untuk menggampangkan sesuatu. Bekerja
keras adalah usaha dan hasil adalah hadiah yang diberikan dari usaha kita,
sudah menjadi fitrah seseorang akan mendapatkan hasil sesuai dengan usahanya.
Sebab itu kawan jangan berleha-leha. Selagi masih muda, mari kita produktif
mengasah dan menempa diri, menjadikan diri sebagai manusia yang tak cepat
berpuas diri, jangan berbangga diri yang berlebihan, sebab itu akan
menghantarkan kita pada kesombongan dan arogansi.
Palopo, 29 Juni 2018
Ditulis setelah kembali dari kampung halaman
Muh. Andi Sugandi, SE
Tulisan Saya Sebelumnya Tulisan Anak Rantau Part 1
Semangat anak rantau.
ReplyDelete