Monday, July 2, 2018

TULISAN ANAK RANTAU Part 2

Bismillahirrahmanirrahim.
Dari sekian banyak para perantau diluar sana, tentunya saya tak bisa membedakan mana perantau yang lebih baik dari perantau yang lainnya. Tapi bagiku semua orang berhak untuk menceritakan setiap detail kehidupannya. Masalah orang peduli atau tidak terhadap kisah kita itu tak penting. yang penting adalah mari terus mengukir sejarah dalam kehidupanmu, dan kemudian tandai dengan tinta emas setiap momen bahagiamu. Siapa yang tahu itu bisa menjadi bahan renungan dan tentunya inspirasi bagi orang lain.
 
Saya Anak Rantau || Masjid Islamic Centre Samarinda 
Menjadi perantau itu tidak mudah, sudah menjadi hal lumrah para perantau yang tak betah ditanah rantau memilih untuk kembali ke kampung halamannya karena tak mampu bersaing dikampung orang. Ini menandakan begiti sulitnya menjadi perantau. Tidak hanya mereka yang berjuang dengan pendidikannya, tapi juga bagi mereka yang berjuang untuk merubah nasibnya. 

Bagi saya kekuatan mental adalah yang terpenting. Mental akan mendukung semua aspek yang kita miliki sebagai seorang perantau. Banyak orang yang memiliki skill mumpuni, dana melimpah, dan semua instrumen pendukung lainnya, tapi buktinya mereka masih juga tak mampu melawan kerasnya kehidupan tanah rantau disebabkan mental yang rapuh. Penggambaran mental menurut orang sini (baca: palopo) "Jadilah seperti dange (dange adalah makanan khas Luwu yang terbuat sagu yang dibakar) jangan jadi seperti kerupuk".

Istilah ini sangat poluler di daerah Luwu. Kenapa harus dange dan kerupuk? Sebab keduanya memiliki akhir yang berbeda. Dange diawal pembuatannya sangatlah lembut tapi seiring waktu semakin lama disimpan dange akan menjadi keras dan kuat. Sementara kerupuk, diawal pembuatannya sangat keras, tapi semakim lama dia disimpan, maka kerupuk akan melempem dan tentunya menjadi lembek. Meskipun keduanya ketika semakin lama disimpan menjadi tidak enak untuk dikonsumsi, tapi mereka berbeda, yang satu semakin keras, yang satu semakin lembek. Kitapun cukup akrab dengan istilah bermental kerupuk.

Istilah “Jadilah seperti dange dan jangan menjadi kerupuk” meskipun terdengar aneh dan hanya seperti candaan semata, tapi makna filosifos yang terkandung bisa dijadikan pelajaran. Artinya penggambaran tersebut cukup tepat menggambarkan keadaan para perantau dengan mentalnya masing-masing. Yang seperti dange, semakin lama semakin mengeras itu menggambarkan tekat yang sangat kuat, semakin ditempa ditanah rantau, maka akan semakin kuat meskipun diawal sangat lembek, dan merasa tak betah ditanah rantau. Sementara yang seperti kerupuk menggambarkan semangat yang menggebu-gebu, rasa optimisme sebesar gunung tapi lama kelamaan melemah karena mentalnya dikalahkan oleh kehidupan tanah rantau yang begitu keras. Mereka baru menyadari bahwa ekspketasi tak sesuai dengan realita.

Tak bisa dipungkuri bahwa memang setiap perantau yang datang ke tempat perantauannya mengundi nasib tidaklah memiliki nasib yang sama, ada yang benar-benar sukses ditanah rantau, adapula yang hanya berjuang untuk sesuap nasi, bahkan ada yang hanya seperti gali lobang tutup lobang. Hari ini berhutang, bulan depan gajian, dibayar lunas dan alhasil gaji hanya tinggal kenangan.

Kembali lagi kekuatan mental menentukan. Apakah akan bertahan dengan kondisi tersebut atau justru menyerah kembali kekampung halaman mengelola tanah warisan untuk ditanami tumbuh-tumbuhan yang nantinya dijual dipasar pagi sembari menunggu informasi lowongan pekerjaan. Pun kalau ada, kalau tidak, maka akan terus bergelut dengan lahan tani, sebab orang yang telah kembali dari rantauan karena kegagalan, maka ia akan malu untuk mencoba lagi jika tidak ada kejelasan ditanah rantau.

Saya mungkin akan terus bersyukur karena sampai hari ini masih bertahan ditanah rantau, (kurang lebih sebelas tahun) meski tak bisa ditakar keberhasilan apa yang telah saya dapatkan, setidaknya saya masih terus mencoba, sebab pulang dan menyerah dari tanah rantau bagi saya adalah hal yang sangat memalukan. Terlebih lagi pengaruh dari fakta mengapa kita harus merantau menjadi penyebab untuk saya tetap bertahan. Beberapa sebab seseorang memilih merantau, kebanyakan karena tak ada pekerjaan jelas dikampung halaman, atau karena pendidikan, atau karena mencoba untuk tidak mengikuti jejak orang tua sebagai seorang petani. Meskipun pekerjaan tani adalah pekerjaan yang mulia, toh banyak orang yang mencoba sebisa mungkin untuk menghindarinya. Ini adalah faktor yang membuat saya enggan kembali ke kampung halaman dan mungkin juga menjadi faktor kebanyakan orang.

Terlepas daripada itu tentunya kita paham bahwa hidup adalah pilihan, yang menjadi inti adalah seberapa besar kita telah berbuat dan jangan pernah terbuai dan terlena oleh hasil yang didapatkan, sebab itu akan memicu kepuasan negatif yang membuat kita mudah untuk menggampangkan sesuatu. Bekerja keras adalah usaha dan hasil adalah hadiah yang diberikan dari usaha kita, sudah menjadi fitrah seseorang akan mendapatkan hasil sesuai dengan usahanya. Sebab itu kawan jangan berleha-leha. Selagi masih muda, mari kita produktif mengasah dan menempa diri, menjadikan diri sebagai manusia yang tak cepat berpuas diri, jangan berbangga diri yang berlebihan, sebab itu akan menghantarkan kita pada kesombongan dan arogansi.

Palopo, 29 Juni 2018

Ditulis setelah kembali dari kampung halaman

Muh. Andi Sugandi, SE
Tulisan Saya Sebelumnya  Tulisan Anak Rantau Part 1 

1 comment: