Wednesday, June 27, 2018

TULISAN ANAK RANTAU Part 1

Selamat datang wahai sahabatku. Ini adalah sepenggal kisah yang sangat ingin saya ceritakan, meskipun nantinya banyak yang menganggap tulisan ini tidak memiliki manfaat sedikitpun, setidaknya saya ingin memuaskan hati yang terus membisikkan bahwa saya harus kembali menulis. 

Rasanya sudah sejak lama semenjak tulisan terakhir saya terpublish, saya menyadari begitu banyak hal yang memanjakan saya sehingga terus alpa untuk menulis, tapi lagi dan lagi saya terus meyakini, semoga ini bukanlah hal yang paten, suatu saat saya yakin akan tiba waktu yang tepat untuk terus berkarya dan saya harus terus menjalaninya sedikit demi sedikit. Ini hanya sekedar pengantar kawan, dan saya suguhkan tulisan sederhana saya. 

“Merantaulah, karena dengan merantau kau akan merasakan nikmatnya pulang kampung” ini menjadi kalimat yang terus saya pegang, sebab saya yakin, pulang kampung adalah saat dimana kita kembali mengenang momen-momen indah perjalanan hidup kita dahulu semenjak kita kecil dan tumbuh dewasa. Tentunya momen ini begitu sangat membahagiakan. Mungkin kisah ini tak akan sehebat kisah para perantau yang telah sukses ditanah rantau, seperti kisah Zainuddin dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yang sukses menjadi seorang penulis mashur, atau seperti kisah para perantau lainnya yang tentunya sudah sangat sukses. Ini hanyalah kisah perantau kecil dengan segudang impian, menuntut ilmu, pengalaman dan pembelajaran yang akan menjadi bekal dalam perjalanan hidup kedepan.

Saya Anak Rantau
Merantau sendiri menurut Wikipedia adalah perginya seseorang dari tempat asal dimana ia tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman. Begitulah yang saya lakukan. Saya meninggalkan Kalimantan diusia yang ke 14 tahun, tepatnya saat saya telah menamatkan Pendidikan di SMP, menuju Palopo Sulawesi Selatan melanjutkan Pendidikan. Meskipun ini bukan kemauan saya, tapi saya tetap melaksanakannya. 

Sebenarnya saya bingung, apakah pergi ke Sulawesi itu berarti saya merantau atau justru malah sebenarnya saya sedang pulang kampung? Dalam silsilah garis keturunan, sebenarnya saya bukanlah orang asli Kalimantan timur. Kedua orang tua saya berdarah Duri Enrekang (Suku yang ada di Sulawesi Selatan) Tentunya keduanya juga hanyalah perantau. Di Kalimantan saya tumbuh besar, dibesarkan seperti anak selayaknya, diajarkan tentang ilmu dan hikmah dari orang tua saya, pengaruh lingkungan pun menjadi bagian dari pertumbuhan saya. Meskipun saya terlahir dari orang tua yang berdarah Duri Enrekang, tidak semerta-merta menjadikan kebiasaan saya seperti kebanyakan orang Duri Enrekang dan mirisnya tidak pula selayaknya orang Kalimantan. Jadi saya sebenarnya orang mana???? 

Meskipun hal ini bukan menjadi persoalan yang besar, tapi terkadang saya menjadi bingung sendiri ketika banyak orang mempertanyakan asal saya, atau mempertanyakan kampung saya. Dijawab asal Kalimantan, benar juga, dijawab Enrekang juga benar. Kalau yang bertanya malah menjadi bingung dengan jawaban saya, barulah saya menjelaskannya lebih terperinci. Cukup aneh sih terdengar, apalagi dengan fakta saya tak fasih berbahasa Duri, juga tak fasih berbahasa Kalimantan, meskipun saya mampu mengucapkan logat orang Sulawesi maupun logat orang Kalimantan. 

Oke cukup sampai disitu, anggap saja saya adalah perantau. Rela meninggalkan semua kenangan manis, bahkan rela meninggalkan kedua orang tua dan keempat adik. Dengan segala impian dan harapan besar ingin sukses dan menjadi orang besar lagi mashur. Betah menahan rindu bertahun-tahun lamanya, adalah perjuangan yang sangat berat, tak terhitung sudah air mata kerinduan, tak terbendung sudah hasrat pertemuan yang menggemberikan, tak terhingga pula kabar baik dan buruk yang terdengar dari sanak family handai tolan disana. Semua menjadi satu paket yang tak terbantahkan, tertampung dan siap untuk ditumpahkan. Tak ada lagi tawar menawar. Dan ketika saat itu tiba, momen yang sangat pas untuk melepaskan semua hasrat itu ada di momen Lebaran. Tanpa fikir Panjang, kulangkahkan kakiku menuju rumah masa kecilku. Meski perjalanan Panjang yang melelahkan dengan jarak tempuh kurang lebih 1000 km. tentunya ini terbagi dalam beberapa rute perjalanan, diawali keberangkatan dari Palopo menuju Bandara Udara Sultan Hasanuddin Makassar yang berjarak kurang lebih 300 km, dilanjutkan dengan perjalanan via pesawat terbang yang jarak tempuhnya sekitar 1 jam menuju Bandar Udara Sepinggan Balikpapan. Setelah sampai di Balikpapan, kembali melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman yang berjarak kurang lebih 250 km. Tentunya jarak ini hanya menurut perkiraan saya pribadi. Hehehe. 

Meski peluh dan lelah mengendap pada tubuh, semuanya lunas terbayarkan, semua hilang berganti kegembiraan melihat kedua orang tua dan keempat adik berkumpul menyambut kedatangan saya. Betapa bahagianya hati dan perasaan ini, momen yang telah lama saya dambakan, bertemu dengan mereka. 

Kupandangi mereka satu persatu, begitu banyak perubahan yang nyata terlihat. Adik-adikku yang telah beranjak dewasa, dan kedua orang tua yang telah menua, wajah kriput mereka sudah tak dapat disembunyikan lagi, tapi tak ada kesyukuran yang lebih patut untuk disyukuri selain menyadari bahwa mereka semua masih ada untuk menatap masa depan saya, Insya Allah akan terus ada. Kurangkul mereka semua, sebagai ekspresi kerinduanku. Kurangkul seakan-akan tak ingin kulepaskan lagi. 

Marangkayu 14 Juni 2018 

Kutulis sehari setalah saya sampai. 

Muh. Andi Sugandi. S.E