Oleh : Hadi Pajarianto
Gunung, ngarai, lembah, sungai,
sawah, dan rumah adat Tongkonan membentuk bentang alam nan eksotis. . Disini, ada cerita tentang pendeta yang mengerahkan
jama'ahnya membangun masjid.
Adapula sosok perempuan muslim tangguh,
ayahnya muslim puritan, ibunya Kristen Protestan, saudaranya terbelah sebagai pemeluk Islam-Nasrani. Setiap hari berteman dengan lumpur jalanan untuk merawat pluralitas, menguatkan
karakter anak-anak usia
sekolah dasar dengan kearifan lokal dan pengalaman hidup bersama.
Siang itu tanggal 21 Desember 2016, saya memacu motor
naik turun bukit. Selanjutnya berjalan kaki sekitar 3 kilometer, dan sampai di
sebuah masjid kecil. Seorang perempuan bertutur sambil menyanyi dalam bahasa
Toraja “Garagangki’ lembang
sura’, lopi dimaya-maya, La tanai sola dua, umpamisa’ penawa. Allonniko batu
pirri’, tang polo-polo,
umbai polo pi batu, anna polo penawa. Basin-basinna Toraya, sulingna to Palopo,
umbai la dipapada, dipasiala oni. Kedenni angin mangngiri’, bara’ ti liu-liu,
Umbai manda’ki’ dao sideken lengo-lengo”. “buatlah perahu berukir, biduk
terpahat halus-indah, tempat kita berdua memadu kasih. Berbantallah batu cadas,
batu yang tak dapat retak. Kalau batu retak pun tiada retak tautan hati.
Serunai dari Toraja, seruling dari Palopo, mari padukan, selaraskan nadanya.
Jika ada topan melanda, dan badai menerjang kita tak akan goyah, kokoh
berpegangan tangan” (Terj. Zakaria J. Ngelow).
Syair lagu tersebut menjadi penutup perjumpaan
Patmawati dengan anak-anak SD Negeri 188 Bau Bittuang Tana Toraja. Sekitar
sepuluh anak bertelanjang kaki, bulir-bulir keringat masih mengalir di wajah
setelah sekitar tiga kilometer berjalan
kaki menyusuri kaki gunung. Patmawati adalah perempuan
muslim yang bermukim di Bittuang, perbatasan Tana Toraja Sulawesi Selatan dengan kabupaten Mamasa di
Sulawesi Barat. Bittuang, dan Tana Toraja pada umumnya adalah kawasan eksotis,
plus majemuk yang hidup rukun dan damai dalam koeksistensi sosial keagamaan. Ayahnya
seorang muslim taat, dan
ibunya penganut Protestan. Patmawatimenjelaskan filosofi syair populer lagu Toraja di atas kepada
penulis di beranda rumahnya di kampung Bittuang, Tana Toraja. Lagu yang bercerita tentang
kerukunan dan kegotongroyongan sebagai pilar penting tumbuh dan berkembangnya
sikap toleran terhadap pluralitas di Tana Toraja. Siang itu, kami ditemani Mas Yano, suami
Patmawati seorang diaspora dari Jawa sembari menyeruput kopi Toraja yang
diseduh secara tradisional.
Kopi Toraja dikenal
bukan saja karena kuat pada aroma, tetapi juga pada nikmat pada rasa. Aroma dan
rasa kopi Toraja yang khas, tentu saja berbeda dengan kopi Vietnam bersianida
yang diduga menewaskan Mirna Salihin. Apalagi, bagi orang Toraja kopi bukan
hanya sekedar produk pertanian yang menguntungkan, atau teman disaat hawa
dingin menyerang. Kopi Toraja melegenda sejak ratusan tahun lalu, menggoda
raja-raja Bugis dari Ajatappareng, Bone, dan kerajaan Luwu di dataran rendah
untuk datang ke Toraja. Dari sinilah, kopi mempertemukan budaya Toraja dengan
dunia luar, bahkan menyisakan prahara perang, yang dikenang sebagai perang kopi
Tana Toraja. Kini, kopi Toraja menjelma dan mendunia, memanjakan lidah para
penikmat kopi di seluruh antero negeri dan luar negeri.
Penguatan
Pendidikan Karakter pada Siswa Sekolah Dasar
Patmawati, adalah satu
diantara perempuan yang berhasil menaklukkan medan terjal pegunungan untuk
menyulam perbedaan anak-anak Bittuang yang hidup dilingkungan majemuk,
Katholik, Protestan, Islam, dan Aluk Todolo. Karakter relijius, toleransi, gotong royong, semangat
kebangsaan, dan delapan belas karakter bangsa menjadi perhatian utama. Ia
adalah Mubalighat plus guru serabutan di Kelompok Belajar Aisyiyah dan SD Negeri 188 Bau
Bittuang Tana Toraja. Walaupun tanpa Surat keputusan, Patmawati rela menyusuri gunungpuluhan
kilometer setiap hari, untuk memperkuat karakter anak-anak Toraja di pinggiran
sesuai agama dan budayanya. Ia terkadang mengantar dan menjemput anak-anak
tersebut, mengumpulkan mereka di rumah warga, musholla, atau padang terbuka
untuk mengajar mengaji, dan mengajarkan warisan nilai nenek moyang orang Toraja
yang sangat menjunjung tinggi toleransi. Tidak hanya melalui kata-kata, tetapi
tindakan nyata dengan melibatkan pengalaman anak-anak Sekolah Dasar tersebut
berbaur dengan lingkungan yang majemuk.
SD Negeri 188 Bau Bittuang Tana Toraja adalah salah
satu lokus persemaian pendidikan karakter yang dikuatkan dengan kearifan lokal
masyarakat Toraja yang majemuk. Patmawati adalah aktor penggeraknya, dan
masyarakat, khususnya anak-anak Sekolah Dasar adalah sasarannya. Sejak tahun 2011, jauh sebelum hiruk-pikuk wacana Perpres Nomor 87 Tahun
2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang menggantikan/menguatkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017, Direktorat Pembinaan
Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan
Nasional menyusun Rancangan Induk Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar melalui
pendekatan menyeluruh, yang pada intinya merupakan pengembangan Pembudayaan
Nilai-Nilai Pancasila yang dirancang tahun 2007 (model PSS dan PBK). Adapun
pendekatan menyeluruh tersebut meliputi: (1) Pendidikan Karakter melalui
Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM); (2) Pendidikan
Karakter melalui Kegiatan Ekstra Kurikuler; (3) Pendidikan Karakter melalui
Budaya Sekolah; dan (4) Pendidikan Karakter melalui Peran Serta Masyarakat.
Kearifan Lokal Tongkonan, Satu
Beranda Beda Agama
Di Tana Toraja, satu keluarga –bahkan satu beranda-
dapat terdiri dari beberapa pemeluk agama. Ini menjadi
fakta yang unik di setiap perspektifnya. Betapa tidak, ditengah hancur-leburnya
tatanan sikap toleran, menguatnya ekstrimisme yang berlabel agama, mazhab, dan
ideologi, Tana Toraja tetap berdiri tegak mempertahankan pluralitas dengan
semangat “Tongkonan” yang menjadi perekatnya. Tentu saja selalu terdapat
potensi konflik. Tetapi, potensi tersebut dapat diatasi jika seluruh komponen
masyarakat bahu-membahu memadamkan
pemicunya. Masyarakat Toraja dengan kearifan lokal-nya, telah membangun
kesadaran kosmologis tentang kesatuan antara manusia, alam semesta dan Tuhan.
Diilhami norma budaya Pepasan to Matua
(pesan orang tua), Tana Toraja menjadi pilar kerukunan antar umat
beragama yang mendunia. Nilai lokal seperti Kasiuluran (kekeluargaan),
Tengko Situru’ (kebersamaan),
Karapasan
yang memiliki makna usaha yang keras memelihara kedamaian dan keharmonisan
masyarakat, Longko’ dan Siri’ (tenggang rasa dan rasa
malu), menjadi nilai yang bersumber dari kearifan lokal yang masih
dipertahankan dalam masyarakat Toraja. Dalam perspektif struktural fungsional,
seluruh struktur yang ada baik pranata pendidikan adat, agama, sosial politik
dan ekonomi berjalan fungsional mendorong masyarakat kearah keseimbangan yang
dinamis (dinamic equilibrium).
Nilai kearifan lokal tersebut, dimanfaatkan oleh
Patmawati menggerakkan pranata sosial keagamaan yang ada di Bittuang sebagai
instrumen utama dalam memberikan pemahaman dan pengalaman mengenai pentingnya
memelihara kerukunan yang sudah ratusan tahun dipelihara nenek moyang mereka. Beberapa
masjid telah berdiri dengan sokongan dari penganut agama Islam, Protestan,
Katholik, dan Aluk Todolo. Salah satunya masjid Nurul Hikma tempat Patmawati
mengajar anak-anak Bittuang dibangun oleh umat Islam, Katholik, dan Protestan
yang bahu membahu membantu moril dan materil. Bahkan, ketua pembangunannya
adalah seorang pendeta. Begitupun sebaliknya, dalam kegiatan non-muslim maka
umat Islam akan berpartisipasi membantu dalam suasana gotong-royong yang kuat. Budaya
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang
berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku
Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga tanpa membedakan agama,
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangkan hubungan mereka dengan
leluhur.
Kearifan lokal orang Toraja menjadi tema
penting dalam penguatan pendidikan karakter, di
antaranya adalah nilai Kasiuluran (kekeluargaan).
Kekeluargaan dalam pergaulan
orang Toraja ibarat nafas yang menjadi daya hidup bagi semua komunitas yang ada
di dalamnya. Pesan-pesan orang tua (pepasan
to matua) disematkan Patmawati kepada anak didiknya. Di antara pepasan to matua yang sarat akan makna
kekeluargaan dan kebersamaan berbunyi Tangla
napoka’ tu rara, Tangla napopoka buku yang berarti “hubungan darah dalam
keluarga tidak akan pernah putus, bagaikan tulang yang tak pernah retak”.
Kearifan lokal inilah menjadi spirit bagi Patmawati dan anak-anak di Bittuang Tana Toraja secara umum untuk mempertahankan hubungan kekerabatan
walaupun berbeda agama. Keluarga ibarat “darah dan tulang” yang pantang
ditumpahkan dan dipatahkan karena ikatan ini abadi sepanjang zaman.
Metode Live In; Meneladani, Memahami, dan Merasakan
Metode live in secara formal
dapat dimaknai sebagai pola hidup bersama selama beberapa waktu di antara
komunitas yang berbeda agama agar dapat saling mengenal secara obyektif dan
mendalam pada masing-masing komunitas beragama tersebut. Dengan pengenalan yang
demikian ini, maka upaya membangun persaudaraan yang tulus antara Islam-Kristen-Aluk
Todolo atau komunitas beragama yang lain dapat diciptakan secara langsung dalam
kehidupan sehari-hari, tanpa harus diceramahi atau diindoktrinasi.Melalui
metode live in, peserta didik dan keluarga diajak untuk berproses
kembali dalam memahami perjumpaan hidup bersama secara baru.
Tidaklah terlalu sulit bagi Patmawati mengajarkan
anak-anak hidup bersama dengan komunitas yang multi-religius, karena telah
menjadi pengalaman keseharian. Penguatan
Pendidikan Karakter nampak pada budaya sekolah dan peran serta masyarakat yang
sangat mendukung. Setidaknya ada tiga siklus dan target yang dilakukan
agar metode live in berjalan dengan baik. Pertama, pemodelan. Guru, orang tua, dan
masyarakat menjadi teladan. Patmawati mengajak seluruh anak dan masyarakat yang multi-religius dalam kegiatan yang
melibatkan seluruh penganut agama yang ada di kawasan pegunungan tersebut,
yakni Islam, Katholik, Kristen Protestan, dan Aluk Todolo sebagai agama purba
yang masih bertahan sampai saat ini.Sangat mudah kita menemukan anak-anak
sekolah dasar berkumpul dengan masyarakat di teras gereja, dan anak-anak muslim
beserta komunitasnya di beranda masjid. Banyak momen yang dapat dimanfaatkan
untuk berkumpul bersama, diantaranya Natal, Maulid Nabi Muhammad saw., tahun
baru, serta menikmati sebagian daging kurban umat Islam dengan seluruh warga
pegunungan Bittuang yang berbeda agama sekalipun.Biasanya kegiatan tersebut
dilakukan setelah ritual keagamaan telah selesai dilaksanakan, sehingga ada
porsi untuk kegiatan sosial yang mempertemukan seluruh anak-anak dan anggota
masyarakat.
Kedua, pemahaman. Guru, orang
tua, dan masyarakat menanamkan kepada anak bahwa iman adalah kesadaran untuk
saling memahami dan mengasihi diantara pemeluk agama yang berbeda. Praktik para
tokoh agama dapat diceritakan untuk memancing pemahaman mereka tentang indahnya
hidup bersama, minus konflik.
Salah satu tema yang cukup
sensitif adalah doa bersama antara muslim dan non-muslim. Dalam keluarganya
yang plural, doa bersama adalah kegiatan yang tidak dapat dihindari baik pada
acara keluarga maupun kegiatan adat di lingkungan keluarga mereka. Sebagai
bentuk religiusitas dalam keluarga, pada kegiatan tertentu senantiasa dimulai
dengan kegiatan do’a bersama. Patmawati, selalu memberikan kesempatan kepada anak-anak atau warga untuk memulai
aktivitas misalnya makan dan aktivitas bersama, dengan doa bersama. Akan
tetapi, doa bersama yang dilakukan keluarga besar beda agama tersebut tidak
dipimpin oleh satu orang, melainkan doa yang dilakukan berdasarkan agama dan
kepercayaan masing-masing. Atau do’a dipimpin oleh keluarga mereka yang
dituakan (baik muslim maupun non-muslim), akan
tetapi anak-anak dan warga berdo’a sendiri menurut
keyakinannya. Pilihan untuk memilih kedua cara berdoa tersebut untuk tetap
menghormati perbedaan agama dan keyakinan antara mereka dan menghindari perdebatan
terkait dengan doa bersama. Pada daerah muslim sebagai minoritas apalagi muslim
lokal asli orang Tana Toraja, memang biasanya pandangannya terhadap doa bersama
dan tema-tema pluralitas lebih mencair.
Ketiga, merasakan.
Menumbuhkan
dan memeliharan potensi kebaikan pada anak dengan sering mengajak dan melatih
mereka membantu orang lain walaupun berbeda agama. Jika tiga langkah ini
dilakukan, maka anak akan semakin dikuatkan dalam menyulam perbedaan di masa
depan mereka.
Rambu Solo adalah salah satu perayaan
akbar di kalangan masyarakat Toraja, tempat keluarga besar yang berbeda agama
saling merasakan kegembiraan atau kedukaan. Masyarakat
Toraja mengenal dua upacara utama yang menyangkut siklus kehidupan, yakni Rambu Tuka’ (Alluk Rampe Matollo) dan Rambu
Solo’ (Alluk Rampe Matampu).
Dalam setiap upacara wajib mengorbankan sejumlah hewan ternak ayam, babi, atau
kerbau, tergantung status sosial
keluarga tersebut. Bagi orang Toraja kerbau diyakini sebagai harta utama, Tedong Garanto Lanan yang bernilai
religius dan materil. Untuk keturunan Tomanurrung
kerbau yang dikorbankan dapat mencapai ratusan ekor. Hewan yang tertinggi
nilainya adalah korban kerbau putih belang hitam (kabongo).
Pada ritual inilah, seluruh keluarga mulai
dari orang tua sampai anak-anak berbondong-bondong membawa bantuan, mulai dari
sembako, kerbau, babi, dan bantuan material lainnya. Anak-anak riang gembira,saling
menyapa dengan keluarga yang datang dari seluruh penjuru Tana Toraja. Inilah
pelajaran yang berharga untuk dapat saling merasakan dan akhirnya akan menyatukan
emosi keagamaan mengalir dalam semangat persatuan Tongkonan. Tradisi Tongkonan berintikan rasa persaudaraan yang penuh kasih sayang tetap
dijalin, walaupun agamanya berbeda. Tradisi “tongkon” (duduk bersama) adalah musyawarah untuk membahas dan menyelesaikan
persoalan bersama merupakan sisi persaudaraan tertinggi dalam kekerabatan orang
Toraja. Tradisi ini telah ada sejak dahulu kala seumur dengan masyarakat Toraja
sendiri, dilestarikan hingga sekarang ketika dalam keluarga menganut agama yang
berbeda.
Di tengah menguatnya radikalisme agama dan mengurai potensi konflik di
Indonesia, Penguatan Pendidikan Karakter berbasis kearifan lokal dan Live In dapat dijadikan model untuk menanamkan dan memperkuat sikap toleran dan pluralis siswa sekolah dasar. Khususnya, dapat bermanfaat bagi lembaga pendidikan agar memposisikan
diri sebagai kekuatan
utama pengendali “mizan” sosial dengan ragam kecenderungannya. Perjumpaan iman antara umat Katholik, Protestan, Islam, dan Aluk Todolo di Tana Toraja dapat menjadi profil keharmonisan
imani dalam ranah keluarga, sekolah, dan
sosial.
Dengan demikian, keluarga, sekolah dan masyarakat telah memainkan perannya
sebagai inti bagi terwujudnya kohesi sosial keagamaan.