Tuesday, October 10, 2017

MENYULAM KEBERAGAMAN DI KAKI GUNUNG BITTUANG

Oleh : Hadi Pajarianto


berjarak sekitar 65 km dari kota Makale Tana Toraja. Gunung, ngarai, lembah, sungai, sawah, dan rumah adat Tongkonan membentuk bentang alam nan eksotis. Saksi bisu turun temurun, pahit getir, suka duka merawat keberagaman komunitas Katholik, Kristen Protestan, Islam, dan Aluk Todolo. Disini, ada cerita tentang pendeta yang mengerahkan jama'ahnya membangun masjid. Adapula sosok perempuan muslim tangguh, ayahnya muslim puritan, ibunya Kristen Protestan, saudaranya terbelah sebagai pemeluk Islam-Nasrani. Setiap hari berteman dengan lumpur jalanan untuk merawat pluralitas, menguatkan karakter anak-anak usia sekolah dasar dengan kearifan lokal dan pengalaman hidup bersama.
Siang itu tanggal 21 Desember 2016, saya memacu motor naik turun bukit. Selanjutnya berjalan kaki sekitar 3 kilometer, dan sampai di sebuah masjid kecil. Seorang perempuan bertutur sambil menyanyi dalam bahasa Toraja “Garagangki’ lembang sura’, lopi dimaya-maya, La tanai sola dua, umpamisa’ penawa. Allonniko batu pirri’, batu tang polo-polo, umbai polo pi batu, anna polo penawa. Basin-basinna Toraya, sulingna to Palopo, umbai la dipapada, dipasiala oni. Kedenni angin mangngiri’, bara’ ti liu-liu, Umbai manda’ki’ dao sideken lengo-lengo”. “buatlah perahu berukir, biduk terpahat halus-indah, tempat kita berdua memadu kasih. Berbantallah batu cadas, batu yang tak dapat retak. Kalau batu retak pun tiada retak tautan hati. Serunai dari Toraja, seruling dari Palopo, mari padukan, selaraskan nadanya. Jika ada topan melanda, dan badai menerjang kita tak akan goyah, kokoh berpegangan tangan” (Terj. Zakaria J. Ngelow).
Syair lagu tersebut menjadi penutup perjumpaan Patmawati dengan anak-anak SD Negeri 188 Bau Bittuang Tana Toraja. Sekitar sepuluh anak bertelanjang kaki, bulir-bulir keringat masih mengalir di wajah setelah sekitar  tiga kilometer berjalan kaki menyusuri kaki gunung. Patmawati adalah perempuan muslim yang bermukim di Bittuang, perbatasan Tana Toraja Sulawesi Selatan dengan kabupaten Mamasa di Sulawesi Barat. Bittuang, dan Tana Toraja pada umumnya adalah kawasan eksotis, plus majemuk yang hidup rukun dan damai dalam koeksistensi sosial keagamaan. Ayahnya seorang muslim taat, dan ibunya penganut Protestan. Patmawatimenjelaskan filosofi syair populer lagu Toraja di atas kepada penulis di beranda rumahnya di kampung Bittuang, Tana Toraja. Lagu yang bercerita tentang kerukunan dan kegotongroyongan sebagai pilar penting tumbuh dan berkembangnya sikap toleran terhadap pluralitas di Tana Toraja. Siang itu, kami ditemani Mas Yano, suami Patmawati seorang diaspora dari Jawa sembari menyeruput kopi Toraja yang diseduh secara tradisional.
Kopi Toraja dikenal bukan saja karena kuat pada aroma, tetapi juga pada nikmat pada rasa. Aroma dan rasa kopi Toraja yang khas, tentu saja berbeda dengan kopi Vietnam bersianida yang diduga menewaskan Mirna Salihin. Apalagi, bagi orang Toraja kopi bukan hanya sekedar produk pertanian yang menguntungkan, atau teman disaat hawa dingin menyerang. Kopi Toraja melegenda sejak ratusan tahun lalu, menggoda raja-raja Bugis dari Ajatappareng, Bone, dan kerajaan Luwu di dataran rendah untuk datang ke Toraja. Dari sinilah, kopi mempertemukan budaya Toraja dengan dunia luar, bahkan menyisakan prahara perang, yang dikenang sebagai perang kopi Tana Toraja. Kini, kopi Toraja menjelma dan mendunia, memanjakan lidah para penikmat kopi di seluruh antero negeri dan luar negeri.
Penguatan Pendidikan Karakter pada Siswa Sekolah Dasar
Patmawati, adalah satu diantara perempuan yang berhasil menaklukkan medan terjal pegunungan untuk menyulam perbedaan anak-anak Bittuang yang hidup dilingkungan majemuk, Katholik, Protestan, Islam, dan Aluk Todolo. Karakter relijius, toleransi, gotong royong, semangat kebangsaan, dan delapan belas karakter bangsa menjadi perhatian utama. Ia adalah Mubalighat plus guru serabutan di Kelompok Belajar Aisyiyah dan SD Negeri 188 Bau Bittuang Tana Toraja. Walaupun tanpa Surat keputusan, Patmawati rela menyusuri gunungpuluhan kilometer setiap hari, untuk memperkuat karakter anak-anak Toraja di pinggiran sesuai agama dan budayanya. Ia terkadang mengantar dan menjemput anak-anak tersebut, mengumpulkan mereka di rumah warga, musholla, atau padang terbuka untuk mengajar mengaji, dan mengajarkan warisan nilai nenek moyang orang Toraja yang sangat menjunjung tinggi toleransi. Tidak hanya melalui kata-kata, tetapi tindakan nyata dengan melibatkan pengalaman anak-anak Sekolah Dasar tersebut berbaur dengan lingkungan yang majemuk.
SD Negeri 188 Bau Bittuang Tana Toraja adalah salah satu lokus persemaian pendidikan karakter yang dikuatkan dengan kearifan lokal masyarakat Toraja yang majemuk. Patmawati adalah aktor penggeraknya, dan masyarakat, khususnya anak-anak Sekolah Dasar adalah sasarannya. Sejak tahun 2011, jauh sebelum hiruk-pikuk wacana Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang menggantikan/menguatkan Permendikbud  Nomor 23 Tahun 2017, Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan Nasional menyusun Rancangan Induk Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar melalui pendekatan menyeluruh, yang pada intinya merupakan pengembangan Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila yang dirancang tahun 2007 (model PSS dan PBK). Adapun pendekatan menyeluruh tersebut meliputi: (1) Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM); (2) Pendidikan Karakter melalui Kegiatan Ekstra Kurikuler; (3) Pendidikan Karakter melalui Budaya Sekolah; dan (4) Pendidikan Karakter melalui Peran Serta Masyarakat.
Kearifan Lokal Tongkonan, Satu Beranda Beda Agama
Di Tana Toraja, satu keluarga –bahkan satu beranda- dapat terdiri dari beberapa pemeluk agama. Ini menjadi fakta yang unik di setiap perspektifnya. Betapa tidak, ditengah hancur-leburnya tatanan sikap toleran, menguatnya ekstrimisme yang berlabel agama, mazhab, dan ideologi, Tana Toraja tetap berdiri tegak mempertahankan pluralitas dengan semangat “Tongkonan” yang menjadi perekatnya. Tentu saja selalu terdapat potensi konflik. Tetapi, potensi tersebut dapat diatasi jika seluruh komponen masyarakat bahu-membahu memadamkan pemicunya. Masyarakat Toraja dengan kearifan lokal-nya, telah membangun kesadaran kosmologis tentang kesatuan antara manusia, alam semesta dan Tuhan. Diilhami norma budaya Pepasan to Matua (pesan orang tua), Tana Toraja menjadi pilar kerukunan antar umat beragama yang mendunia. Nilai lokal seperti Kasiuluran (kekeluargaan), Tengko Situru’ (kebersamaan), Karapasan yang memiliki makna usaha yang keras memelihara kedamaian dan keharmonisan masyarakat, Longko’ dan Siri’ (tenggang rasa dan rasa malu), menjadi nilai yang bersumber dari kearifan lokal yang masih dipertahankan dalam masyarakat Toraja. Dalam perspektif struktural fungsional, seluruh struktur yang ada baik pranata pendidikan adat, agama, sosial politik dan ekonomi berjalan fungsional mendorong masyarakat kearah keseimbangan yang dinamis (dinamic equilibrium).
Nilai kearifan lokal tersebut, dimanfaatkan oleh Patmawati menggerakkan pranata sosial keagamaan yang ada di Bittuang sebagai instrumen utama dalam memberikan pemahaman dan pengalaman mengenai pentingnya memelihara kerukunan yang sudah ratusan tahun dipelihara nenek moyang mereka. Beberapa masjid telah berdiri dengan sokongan dari penganut agama Islam, Protestan, Katholik, dan Aluk Todolo. Salah satunya masjid Nurul Hikma tempat Patmawati mengajar anak-anak Bittuang dibangun oleh umat Islam, Katholik, dan Protestan yang bahu membahu membantu moril dan materil. Bahkan, ketua pembangunannya adalah seorang pendeta. Begitupun sebaliknya, dalam kegiatan non-muslim maka umat Islam akan berpartisipasi membantu dalam suasana gotong-royong yang kuat. Budaya Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga tanpa membedakan agama, diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangkan hubungan mereka dengan leluhur.
Kearifan lokal orang Toraja menjadi tema penting dalam penguatan pendidikan karakter, di antaranya adalah nilai Kasiuluran (kekeluargaan). Kekeluargaan dalam pergaulan orang Toraja ibarat nafas yang menjadi daya hidup bagi semua komunitas yang ada di dalamnya. Pesan-pesan orang tua (pepasan to matua) disematkan Patmawati kepada anak didiknya. Di antara pepasan to matua yang sarat akan makna kekeluargaan dan kebersamaan berbunyi Tangla napoka’ tu rara, Tangla napopoka buku yang berarti “hubungan darah dalam keluarga tidak akan pernah putus, bagaikan tulang yang tak pernah retak”. Kearifan lokal inilah menjadi spirit bagi Patmawati dan anak-anak di Bittuang Tana Toraja secara umum untuk mempertahankan hubungan kekerabatan walaupun berbeda agama. Keluarga ibarat “darah dan tulang” yang pantang ditumpahkan dan dipatahkan karena ikatan ini abadi sepanjang zaman.
Metode Live In; Meneladani, Memahami, dan Merasakan
Metode live in secara formal dapat dimaknai sebagai pola hidup bersama selama beberapa waktu di antara komunitas yang berbeda agama agar dapat saling mengenal secara obyektif dan mendalam pada masing-masing komunitas beragama tersebut. Dengan pengenalan yang demikian ini, maka upaya membangun persaudaraan yang tulus antara Islam-Kristen-Aluk Todolo atau komunitas beragama yang lain dapat diciptakan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus diceramahi atau diindoktrinasi.Melalui metode live in, peserta didik dan keluarga diajak untuk berproses kembali dalam memahami perjumpaan hidup bersama secara baru.
Tidaklah terlalu sulit bagi Patmawati mengajarkan anak-anak hidup bersama dengan komunitas yang multi-religius, karena telah menjadi pengalaman keseharian. Penguatan Pendidikan Karakter nampak pada budaya sekolah dan peran serta masyarakat yang sangat mendukung. Setidaknya ada tiga siklus dan target yang dilakukan agar metode live in berjalan dengan baik. Pertama, pemodelan. Guru, orang tua, dan masyarakat menjadi teladan. Patmawati mengajak seluruh anak dan masyarakat yang multi-religius dalam kegiatan yang melibatkan seluruh penganut agama yang ada di kawasan pegunungan tersebut, yakni Islam, Katholik, Kristen Protestan, dan Aluk Todolo sebagai agama purba yang masih bertahan sampai saat ini.Sangat mudah kita menemukan anak-anak sekolah dasar berkumpul dengan masyarakat di teras gereja, dan anak-anak muslim beserta komunitasnya di beranda masjid. Banyak momen yang dapat dimanfaatkan untuk berkumpul bersama, diantaranya Natal, Maulid Nabi Muhammad saw., tahun baru, serta menikmati sebagian daging kurban umat Islam dengan seluruh warga pegunungan Bittuang yang berbeda agama sekalipun.Biasanya kegiatan tersebut dilakukan setelah ritual keagamaan telah selesai dilaksanakan, sehingga ada porsi untuk kegiatan sosial yang mempertemukan seluruh anak-anak dan anggota masyarakat.
Kedua, pemahaman. Guru, orang tua, dan masyarakat menanamkan kepada anak bahwa iman adalah kesadaran untuk saling memahami dan mengasihi diantara pemeluk agama yang berbeda. Praktik para tokoh agama dapat diceritakan untuk memancing pemahaman mereka tentang indahnya hidup bersama, minus konflik.
Salah satu tema yang cukup sensitif adalah doa bersama antara muslim dan non-muslim. Dalam keluarganya yang plural, doa bersama adalah kegiatan yang tidak dapat dihindari baik pada acara keluarga maupun kegiatan adat di lingkungan keluarga mereka. Sebagai bentuk religiusitas dalam keluarga, pada kegiatan tertentu senantiasa dimulai dengan kegiatan do’a bersama. Patmawati, selalu memberikan kesempatan kepada anak-anak atau warga untuk memulai aktivitas misalnya makan dan aktivitas bersama, dengan doa bersama. Akan tetapi, doa bersama yang dilakukan keluarga besar beda agama tersebut tidak dipimpin oleh satu orang, melainkan doa yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Atau do’a dipimpin oleh keluarga mereka yang dituakan (baik muslim maupun non-muslim), akan tetapi anak-anak dan warga berdo’a sendiri menurut keyakinannya. Pilihan untuk memilih kedua cara berdoa tersebut untuk tetap menghormati perbedaan agama dan keyakinan antara mereka dan menghindari perdebatan terkait dengan doa bersama. Pada daerah muslim sebagai minoritas apalagi muslim lokal asli orang Tana Toraja, memang biasanya pandangannya terhadap doa bersama dan tema-tema pluralitas lebih mencair.
Ketiga, merasakan. Menumbuhkan dan memeliharan potensi kebaikan pada anak dengan sering mengajak dan melatih mereka membantu orang lain walaupun berbeda agama. Jika tiga langkah ini dilakukan, maka anak akan semakin dikuatkan dalam menyulam perbedaan di masa depan mereka.
Rambu Solo adalah salah satu perayaan akbar di kalangan masyarakat Toraja, tempat keluarga besar yang berbeda agama saling merasakan kegembiraan atau kedukaan. Masyarakat Toraja mengenal dua upacara utama yang menyangkut siklus kehidupan, yakni Rambu Tuka’ (Alluk Rampe Matollo) dan Rambu Solo’ (Alluk Rampe Matampu). Dalam setiap upacara wajib mengorbankan sejumlah hewan ternak ayam, babi, atau kerbau, tergantung  status sosial keluarga tersebut. Bagi orang Toraja kerbau diyakini sebagai harta utama, Tedong Garanto Lanan yang bernilai religius dan materil. Untuk keturunan Tomanurrung kerbau yang dikorbankan dapat mencapai ratusan ekor. Hewan yang tertinggi nilainya adalah korban kerbau putih belang hitam (kabongo).
Pada ritual inilah, seluruh keluarga mulai dari orang tua sampai anak-anak berbondong-bondong membawa bantuan, mulai dari sembako, kerbau, babi, dan bantuan material lainnya. Anak-anak riang gembira,saling menyapa dengan keluarga yang datang dari seluruh penjuru Tana Toraja. Inilah pelajaran yang berharga untuk dapat saling merasakan dan akhirnya akan menyatukan emosi keagamaan mengalir dalam semangat persatuan Tongkonan. Tradisi Tongkonan berintikan rasa persaudaraan yang penuh kasih sayang tetap dijalin, walaupun agamanya berbeda. Tradisi “tongkon” (duduk bersama) adalah musyawarah untuk membahas dan menyelesaikan persoalan bersama merupakan sisi persaudaraan tertinggi dalam kekerabatan orang Toraja. Tradisi ini telah ada sejak dahulu kala seumur dengan masyarakat Toraja sendiri, dilestarikan hingga sekarang ketika dalam keluarga menganut agama yang berbeda.
Di tengah menguatnya radikalisme agama dan mengurai potensi konflik di Indonesia, Penguatan Pendidikan Karakter berbasis kearifan lokal dan Live In dapat dijadikan model untuk menanamkan dan memperkuat sikap toleran dan pluralis siswa sekolah dasar. Khususnya, dapat bermanfaat bagi lembaga pendidikan agar memposisikan diri sebagai kekuatan utama pengendali “mizan” sosial dengan ragam kecenderungannya. Perjumpaan iman antara umat Katholik, Protestan, Islam, dan Aluk Todolo di Tana Toraja dapat menjadi profil keharmonisan imani dalam ranah keluarga, sekolah, dan sosial. Dengan demikian, keluarga, sekolah dan masyarakat telah memainkan perannya sebagai inti bagi terwujudnya kohesi sosial keagamaan.

No comments:

Post a Comment